80 Tahun Merdeka : Pati, Rakyat, dan Demokrasi yang Retak

La Ode Abdul Harits Nugraha - Penggiat Kebijakan Publik dan Lingkungan

Oleh : La Ode Abdul Harits Nugraha – Penggiat Kebijakan Publik dan Lingkungan

SUARAINTERAKTIF.COM, KENDARI – Peristiwa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, bukan sekadar dinamika lokal. Ia adalah lonceng keras yang menandakan betapa rapuhnya fondasi demokrasi di negeri ini. Ketika suara rakyat dipinggirkan dan kebijakan lebih berpihak pada kepentingan modal, maka perlawanan sosial lahir bukan karena digerakkan, melainkan karena ia menjadi keniscayaan.

Konstitusi menegaskan kedaulatan ada di tangan rakyat. Kekuasaan hanyalah mandat, bukan hak turun-temurun. Namun, praktik politik hari ini sering kali memperlakukan aspirasi rakyat sebatas formalitas. Demokrasi lalu menyusut menjadi sekadar pesta lima tahunan, kehilangan makna sebagai mekanisme pengawasan, penyeimbang, sekaligus ruang koreksi bagi jalannya kekuasaan.

Kritik rakyat bukan musuh, tetapi energi untuk menjaga arah bangsa. Pemerintah yang bijak tidak akan menganggapnya ancaman, melainkan menjadikannya kompas moral dalam merumuskan kebijakan publik.

Jika pada masa kolonialisme bangsa ini berjuang melawan penindasan asing, maka kini rakyat berhadapan dengan wajah baru penjajahan : arogansi kekuasaan, kerakusan modal, serta sikap abai terhadap penderitaan warga. Inilah bentuk kolonialisme modern yang menuntut keberanian moral untuk dilawan.

Kemerdekaan tidak boleh direduksi menjadi sekadar ritual tahunan pada 17 Agustus. Ia adalah janji konstitusi yang harus hadir dalam kehidupan sehari-hari, ruang hidup yang adil, kebijakan yang berpihak pada kaum kecil, serta pemerintahan yang mau membuka telinga dan hati.

Peringatan 80 tahun kemerdekaan semestinya menjadi momentum refleksi : apakah negara benar-benar merdeka jika rakyat masih sulit bersuara? Apakah arti kemerdekaan bila pemerintah menutup ruang dialog dan lebih setia pada modal ketimbang pada rakyatnya?

Pati adalah cermin yang memantulkan retakan demokrasi Indonesia. Retakan itu bisa melebar menjadi jurang jika kekuasaan terus abai, namun bisa pula menjadi kesempatan untuk memperbaiki arah bangsa bila penguasa mau mendengar. Rakyat telah memberi pengingat penting : kekuasaan adalah pinjaman, dan setiap pinjaman ada batas waktunya.

Baca Juga  Turnamen Futsal KOSMA TIKEP CUP 2025 Resmi Bergulir, Camat Buka dengan Tendangan Perdana

Di usia 80 tahun kemerdekaan ini, mari kembali pada hakikatnya: Indonesia tidak berdiri karena pemerintah berkuasa, melainkan karena rakyat yang berdaulat.