Oleh : Rachman Aldandily (Akademisi Akuntansi)
SUARAINTERAKTIF.COM,KENDARI, 23 Juli 2025 – Geliat pertambangan di Sulawesi Tenggara terus berdenyut. Truk-truk pengangkut nikel melaju di jalanan, tongkang mengangkut logam ke pelabuhan ekspor. Namun, satu pertanyaan mendasar masih menggantung: mengapa wilayah ini belum merasakan manfaat fiskal secara utuh, terutama dari Pajak Penghasilan (PPh) karyawan tambang ?
Penelusuran mendalam mengungkap kesenjangan lebar antara potensi dan realisasi penerimaan PPh Pasal 21. Persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan rendahnya kepatuhan wajib pajak, tetapi juga memperlihatkan celah dalam sistem administratif, regulasi, dan kelembagaan fiskal.
Potensi Menggoda, Realisasi Mengecewakan.
Nama Sulawesi Tenggara telah dikenal sebagai salah satu penghasil nikel utama di Indonesia. Volume kegiatan tambang semestinya sebanding dengan kontribusi pajak kepada negara. Berdasarkan estimasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), potensi pendapatan daerah dari tambang bisa mencapai Rp1 triliun setiap tahun hanya dari Kolaka, Konawe Utara, dan Bombana (Kompas, 2023). Estimasi tersebut mencakup berbagai jenis pajak, termasuk PPh 21 dari ribuan pekerja tambang.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Per Juni 2025, 70 perusahaan pemegang RKAB aktif beroperasi. Sayangnya, hanya 10 yang tercatat melaporkan dan menyetor pajak secara resmi ke pemerintah daerah. Sebanyak 89 perusahaan lainnya justru memiliki tunggakan yang mencapai Rp31 miliar (Telisik, 2025). Fakta ini menunjukkan lemahnya kontrol fiskal dan buruknya pelaporan penghasilan karyawan.
Studi Kasus: PPh 21 yang Menguap.
Salah satu contoh nyata datang dari sebuah perusahaan tambang di Konawe Utara. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 2.000 tenaga kerja, namun laporan penggajiannya hanya mencantumkan nominal setara Upah Minimum Provinsi. Audit internal pemerintah daerah mengungkap adanya tunjangan dan bonus besar yang tidak tercatat. Rekayasa laporan gaji ini membuat penghitungan PPh menjadi tidak akurat. Pelaporan dan pemotongan dilakukan oleh kantor pusat di Jakarta. Akibatnya, kontribusi fiskal yang seharusnya masuk ke Sulawesi Tenggara justru tercatat sebagai penerimaan daerah lain.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak PER-07/PJ/2020, perusahaan yang menggaji pekerja di daerah wajib memiliki NPWP cabang agar pemotongan PPh dilakukan di lokasi kegiatan. Namun, banyak perusahaan memilih menggunakan NPWP pusat sehingga potensi pajak “dipindahkan” ke luar daerah (Ortax, 2020).
Tax Avoidance dan Tax Evasion: Dua Sisi Ancaman.
Kondisi tersebut merupakan bentuk dari tax avoidance, praktik menghindari pajak secara legal melalui manipulasi struktur penghasilan. Namun, ancaman lebih besar datang dari tax evasion. Salah satu kasus terjadi pada PT Rockstne Mineral Indonesia, yang tidak melaporkan PPh dan PPN secara benar sehingga menyebabkan kerugian negara senilai lebih dari Rp500 juta (Antara, 2024).
Lebih luas lagi, fenomena kendaraan tambang tanpa pelat resmi, sebagaimana dikritik oleh Wakil Menteri Desa pada awal 2025, menunjukkan masih rendahnya kepatuhan terhadap pajak alat berat (Detik, 2025). Potret ini mengungkap bahwa tantangan perpajakan di sektor tambang mencakup masalah moral dan integritas, bukan sekadar aspek teknis.
Regulasi Ada, Implementasi Lemah.
Aturan perpajakan sebenarnya sudah tersedia cukup jelas. PER-07/PJ/2020 mewajibkan NPWP cabang untuk pelaporan PPh yang akurat. PMK No. 66 Tahun 2023 bahkan memberikan insentif berupa pengecualian PPh natura bagi pekerja tambang di daerah tertentu. Sayangnya, celah ini sering disalahgunakan sebagai alasan untuk tidak melaporkan penghasilan tambahan (Pajakku, 2023).
UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjanjikan keadilan fiskal melalui desentralisasi. Namun, janji ini tidak akan terwujud tanpa dukungan institusi daerah yang kuat dan aktif memantau pelaporan PPh tenaga kerja tambang (Kemenkeu, 2022).
Menjaga Keadilan Fiskal untuk Daerah.
Pengawasan perpajakan tidak dapat hanya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pemerintah daerah memiliki peran penting untuk memastikan penggunaan NPWP cabang, verifikasi dokumen perpajakan, dan koordinasi dengan otoritas pusat. Kegagalan dalam hal ini akan terus melanggengkan kebocoran fiskal.
Perusahaan tambang perlu bersikap terbuka dan bertanggung jawab. Setiap pekerja berhak mendapatkan bukti potong pajak yang benar. Memanipulasi struktur penghasilan untuk mengurangi PPh 21 bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap kewajiban kepada negara. Tekanan publik dari masyarakat sipil, LSM, dan media juga sangat diperlukan. Partisipasi kolektif dapat mendorong reformasi fiskal yang berpihak pada daerah penghasil.
Penutup: Pajak dan Keadilan Sosial.
Pajak bukan hanya instrumen fiskal, tetapi cermin keadilan. Sumber daya alam yang diambil dari bumi Sulawesi Tenggara seharusnya memberi manfaat langsung bagi masyarakatnya. Tanpa sistem perpajakan yang adil dan pengawasan ketat, pembangunan akan timpang. Jika PPh 21 dari keringat para pekerja tambang justru masuk ke kas daerah lain, maka yang hilang bukan semata pendapatan, tetapi juga hak masyarakat. Keadilan fiskal hanya akan tercapai ketika pajak kembali ke tempat asal kekayaan diproduksi.